Minggu, 21 Agustus 2016

Laku Rakyat Dan Pemimpin



Bangsa ini telah kehilangan arah sejak lama. Ibarat sebuah kapal, (seolah) tak memiliki peta berlayar juga kompas. Maka bayangkanlah akibat fatal dari kapal itu saat berada di samudra luas, terdampar atau hancur.

Lihatlah.. Semua saling melempar Tanya—“Mau dibawa kemana Indonesia di masa akan datang?”. Menghela nafas pangjang, entah itu kali keberapa telinga ini mendengarnya. Bosan. Jenuh. Geram. Pada siapa sebenarnya pertanyaan itu tertujukan, jika rakyat dan pemimpinnya menanyakan hal yang sama. Ah, sudahlah.. dari pada saling mempertanyakan, bukankah akan lebih bijak jika pertanyaan itu tertuju untuk diri sendiri? Karna tak ada yang bisa memastikan selain kalian—para rakyat dan pemimpin.

Hikmat Darmawan dalam tulisannya mengatakan bahwa kesenjangan telah memecah belah bangsa ini. kesenjangan antara yang miskin dan kaya; kesenjangan antara yang berkuasa dan tidak, kesenjangan antara elite dan rakyat alit; kesenjangan antara idealitas kenegaraan dan praktek birokrasi di lapangan; kesenjangan antara harapan dan kenyataan; pun kesenjangan antara yang simbolik dengan realistik.

Keretakan bangsa ini perlu direkatkan kembali. Dan semua itu hanya bisa mewujud nyata bila mana rakyat dan pemimpinnya saling bergandeng tangan. Rakyat jangan membiarkan pemimpin menyelesaikan sendiri permasalahan bangsa ini dan pemimpin berilah ruang luas bagi rakyat untuk membantu, berdiskusi bersama tentang problem bangsa ini dan mencari solusinya bersama. Kalau kata bang Hikmat Darmawan “jangan tetap membudayakan ‘bermain dalam gelap’ yang bertumpu pada keharusan pasifnya masyarakat”.

*sedikit coretan sembari menunggu Lingkaran Kita. 

Qamra 'Awanta
untuk rakyat dan pemimpin, jangan semakin menambah runyam masalah Bangsa

Jumat, 19 Agustus 2016

Yang Dirindukan Langit



Kau—yang namanya selalu ada dalam rapalan do’a
Kau—yang hadirnya selalu dirindukan
Masihkah kita pada rasa yang sama?
Tentang ikrar mulia—tentang mimpi indah

Lihatlah--langit gelap, sepi, mendung, muram, duka
Awan lebat berbaris berdekatan, menumpahkan hujan pada bumi
Sunyi membentang di sepanjang perjalanan
Berkawankan rintikan hujan yang menemani

Kau seolah lupa, kau seolah hilang ingatan
Tenggelam, terbuai pada kesibukan duniawi
Teriakan, gertakan, gebrakan, tak jua menolehkanmu walau sesaat
Mulut terkatup rapat tanpa suara
Asing pada keadaan disekitar
Buta pada apa yang terlihat
Tuli pada apa yang terdengar

Di bawah langit mendung, derai hujan begitu deras
Pada jalan, ada jejak kaki yang mulai tersamarkan
Ada bunga mekar yang terabaikan
Ada ribuan pohon yang terluka

Dengarlah..
Langit menunggu kabar kebaikan dari jiwa-jiwa yang dirindukannya
Jiwa-jiwa yang mampu melihat dan menjamah pelangi dibalik awan gelapnya
Jiwa-jiwa yang namanya disebut-sebut di hadapan Ar-Rahman
Jiwa-jiwa yang dengan setia memperjuangkan cinta Ar-Rahim

Dan—kau, maukah menjadi bagian dari mereka?
Yang dirindukan oleh langit disepanjang perjalanan



02/08/2016; 21:30 wita
#RuangRasa
#HujanRindu

Qamra ‘Awanta
Tetaplah diperjalanan ini

Rabu, 10 Agustus 2016

‘Adil’—Pahamilah ia..



Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, artinya bahwa ketak-adilan sudah kau lakukan. Untuk kondisi yang begitu menghimpit ruang dada, bukan alasan urgen membolehkannya ada--meski atas nama ‘Keterpaksaan’.
Bukankah Dia sudah memperingatkanmu? Bahkan kaupun berulang-ulang kali membacanya dalam Al-Kitab; “…dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S Al-Hujurat:9). Lalu, pada ayat mana yang tak kau pahami? Tidak.. bahkan keseluruhan dari ayat itu tak ada yang kau pahami. Sebab sebuah kepahaman akan menghadirkan ruang sadar untuk kita bergerak melakukannya.
sadarilah.. begitu banyak hal yang terabaikan, masih begitu banyak hal yang adil tak kau berikan padanya. Cobalah untuk memahami..

22:10 wita , 10/08/2016
#MuhasabahDiri #RuangRasa
Qamra ‘Awanta
Adillah pada semuanya..