Jumat, 22 April 2016

BUKAN HANYA KARTINI




Hari ini, tertanggal 21 April 2016, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia secara historia kembali mengkultuskan R.A Kartini sebagai pahlawan perempuan Indonesia pertama yang konon katanya memperjuangkan emansipasi wanita. Yaa, Indonesia memang telah menetapkan 21 April sebagai hari Kartini yang juga merupakan tanggal kelahiran dari pejuang emansipasi wanita tersebut. Kartini mulai dikenal setelah terbitnya buku yang berisi surat-surat beliau kepada para sahabat penanya yang ada di Eropa dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku tersebut merupakan terjemahan dari buku “Door Duisternis tot Licht” diterbitkan oleh  Mr. J.H. Abendanon tahun 1911.  Mr. J.H. Abendanon merupakan seorang menteri pangajaran, ibadah, dan karajinan Hindia-Belanda semasa era politik Etis. Buku tersebut dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju kartini. Apakah benar??

Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya seorang Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar yang juga merupakan guru besar UI, melakukan gugatan terhadap penokohan kartini. Melalui tulisan artikelnya yang berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang termuat pada buku “Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4)Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat mengambil alih kartini sebagai lambang emansipasi wanita Indonesia dari orang-orang Belanda. Mengapa kita tidak coba untuk menciptakan sendiri lambang tersebut, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, kritiknya secara tegas. Beliau juga mempertanyakan kenapa harus Kartini yang dijadikan simbol kemajuan wanita Indonesia. Kenapa bukan Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan yang terlebih dahulu sudah melakukan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan dukungan terhadap kaum wanita dengan mendirikan sekolah-sekolah. Yang lebih anehnya lagi menurut beliau, kedua sosok tersebut tidak disebutkan namanya dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Mengapa demikian??

Selain 2 tokoh di atas, masih terdapat pula beberapa tokoh wanita lainnya yang perjuangannya tak kalah hebat dibanding Kartini. Mereka adalah Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cuk Nyak Dien, Tengku Fatimah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh. Jika kita membaca sejarah dan meniliknya lebih jauh lagi, Aceh memang banyak melahirkan sosok pejuang wanita yang memiliki kemampuan luar biasa. Sebut saja Malahayati, ia adalah Panglima angkatan laut pertama Kerajaan Aceh sebelum masa Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia. waaahh .. lebih keren dari Kartini euuyy.

Jika kita mengenal Kartini sebagai sosok pejuang emansipasi wanita, yang menyampaikan ide atau gagasannya lewat tulisan, maka Rohana Kudus yang saat itu dikenal sebagai seorang Jurnalis pertama di Indonesia menyebarkan secara langsung idenya melalui tulisan-tulisan yang termuat dalam koran dan menerbitkannya sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Ia juga mendirikan sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916). Demikan pula Dewi Sartika, tidak hanya sekedar berwacana mengenai pendidikan kaum wanita, ia bahkan berhasil mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan sekolah yang belakangan dikenal sebagai sekolah Kautamaan Istri (1910) di berbagai tempat di Bandung juga luar Bandung. Cut Nyak Dien (1848-1908) hingga akhir hayatnya tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang, ia juga adalah seorang ulama-wanita. Begitu pun dengan Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Lalu, atas dasar pemikiran seperti apa hingga sosok Kartini yang dijadikan sebagai pejuang emansipasi wanita Indonesia? Padahal begitu banyak sosok pejuang wanita yang kontribusinya tertorehkan lebih hebat. 

Back to Kartini. Seorang penulis sejarah Fandy Hutari juga memaparkan 4 kontroversi terhadap Kartini yang ia peroleh dari berbagai informasi. Pertama, adanya dugaan rekasa pada surat-surat Kartini oleh J.H Abendanon sebelum diterbitkan. Ini disebabkan karena sampai sekarang tak se-orang pun yang tahu keberadaan surat-surat Kartini tersebut. Kita, hanya disuguhkan naskah surat dalam bentuk buku. Bahkan diduga bahwa J.H Abendanon memanfaatkan surat-surat Kartini untuk kepentingan polotik Etis yang saat itu sedang gencar dikampanyekan. Kedua, ketidak teguh pendirian Kartini terhadap kritikan dan gugatannya mengenai poligami dan pingit yang merupakan tradisi jawa. Ia, menerima dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang yang notabene-nya sudah mimiliki 3 orang istri. Perubahan sikap Kartini itu menyebabkan ia terlihat “lemah” dalam ber-prinsip. Ketiga, tidak adanya bukti sejarah yang memperlihatkan perjuangan Kartini dalam melawan penjajahan Belanda. Kartini malah lebih memilih untuk toleransi kepada Belanda. Nah, sikap demikian sangat jauh bahkan ber-kontradiksi dengan sosok se-orang pejuang kemerdekaan Indonesia. Keempat, Kartini dalam pemikirannya hanya ber-bicara mengenai permasalahan adat Jawa bukan permasalahan bangsa Indonesia pada umumnya yang terdiri dari berbagai suku. 

Nah, berdasarkan kontroversi di atas, maka sangat wajar jika kita mempertanyakan mengapa tanggal lahir Kartini harus dijadikan sebagai hari besar Nasional bangsa kita? Atau, mengapa tiap tanggal 21 April hanya nama Kartini saja yang disebut dan dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita Indonesia? Mengapa hanya jasa Kartini yang dikenang? Mengapa jasa pejuang wanita lainnya tidak diikutsertakan? 

Hal-hal seperti inilah yang perlu dipelajari oleh masyarakat Indonesia. Kita semua perlu mengetahui bahwa sangat banyak distorsi sejarah yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada perjuangan bangsa Indonesia. Jika kita tidak paham mengenai sejarah, maka bagaimana mungkin kita bisa menatap dan menata masa depan? Mengutip sebuah nasehat indah dari pejuag Indonesia bapak Ir. Soekarno, ia mengatakan bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Sejarah sangatlah penting untuk menentukan langkah kita ke depan. Bahkan Al-Qur’an yang kita jadikan sebagai pedoman hidup juga banyak bercerita tentang sejarah. 

Selain itu, berbicara mengenai emansipasi wanita, saya kembali mengutip satu kalimat bijak dari Rohana Kudus, “Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Modern tidak berarti wanita harus setara atau bisa sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Laki-laki tetaplah laki-laki dengan segala hak dan kewajibannya. Juga Wanita, tetaplah wanita dengan segala hak dan kewajibannya pula. Wanita ber-hak untuk mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya dan melakukan segala ingin serta cita yang diharapkannya tanpa menyalahi kodrat ia dari Tuhan sebagai se-orang wanita ^^
*Referensi bacaan dari berbagai artikel
Nb : Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik pun menggugat pribadi Kartini, bahkan mengurangi rasa hormat dan apresiasi kami (ter-khusus saya pribadi) terhadap perjuangan beliau untuk emansipasi wanita. Kami tetap wajib ber-terima kasih dan meng-hargai beliau sebagai salah satu pejuang kaum perempuan yang telah mengisi sejarah Indonesia J ^_^
Kendari, 21 April 2016
Qamra ‘Awanta ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar