Hari
ini, tertanggal 21 April 2016, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia
secara historia kembali mengkultuskan R.A Kartini sebagai pahlawan perempuan
Indonesia pertama yang konon katanya memperjuangkan emansipasi wanita. Yaa,
Indonesia memang telah menetapkan 21 April sebagai hari Kartini yang juga
merupakan tanggal kelahiran dari pejuang emansipasi wanita tersebut. Kartini mulai
dikenal setelah terbitnya buku yang berisi surat-surat beliau kepada para
sahabat penanya yang ada di Eropa dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku tersebut merupakan terjemahan
dari buku “Door
Duisternis tot Licht” diterbitkan oleh Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Mr. J.H. Abendanon merupakan seorang menteri pangajaran, ibadah,
dan karajinan Hindia-Belanda semasa era politik Etis. Buku tersebut dianggap
sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat
berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran
sekritis dan semaju kartini. Apakah benar??
Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya seorang Prof. Dr. Harsja W.
Bachtiar yang juga merupakan guru besar UI, melakukan gugatan terhadap
penokohan kartini. Melalui tulisan artikelnya yang berjudul “Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang termuat pada buku “Satu
Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4)”
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat mengambil alih
kartini sebagai lambang emansipasi wanita Indonesia dari orang-orang Belanda. Mengapa
kita tidak coba untuk menciptakan sendiri lambang tersebut, meskipun kemudian
kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, kritiknya secara tegas. Beliau juga
mempertanyakan kenapa harus Kartini yang dijadikan simbol kemajuan wanita
Indonesia. Kenapa bukan Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan dari Aceh dan Siti Aisyah We
Tenriolle dari Sulawesi Selatan yang terlebih dahulu sudah melakukan perjuangan
melawan penjajahan Belanda dan dukungan terhadap kaum wanita dengan mendirikan
sekolah-sekolah. Yang lebih anehnya lagi menurut beliau, kedua sosok tersebut
tidak disebutkan namanya dalam buku “Sejarah
Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1978),
terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Mengapa demikian??
Selain 2 tokoh di atas, masih terdapat pula beberapa tokoh
wanita lainnya yang perjuangannya tak kalah hebat dibanding Kartini. Mereka
adalah Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cuk Nyak Dien, Tengku Fatimah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh. Jika kita membaca
sejarah dan meniliknya lebih jauh lagi, Aceh memang banyak melahirkan sosok
pejuang wanita yang memiliki kemampuan luar biasa. Sebut saja Malahayati, ia
adalah Panglima angkatan laut pertama Kerajaan Aceh sebelum masa Cut Nyak Dien
dan sebelum Belanda datang ke Indonesia. waaahh .. lebih keren dari Kartini
euuyy.
Jika kita mengenal Kartini sebagai sosok pejuang emansipasi
wanita, yang menyampaikan ide atau gagasannya lewat tulisan, maka Rohana Kudus
yang saat itu dikenal sebagai seorang Jurnalis pertama di Indonesia menyebarkan
secara langsung idenya melalui tulisan-tulisan yang termuat dalam koran dan
menerbitkannya sendiri sejak dari Sunting Melayu
(Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya
Sumatera (Medan). Ia juga mendirikan sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan
Rohana School (1916). Demikan pula Dewi Sartika, tidak hanya sekedar berwacana
mengenai pendidikan kaum wanita, ia bahkan berhasil mewujudkan cita-citanya
dengan mendirikan sekolah yang belakangan dikenal sebagai sekolah Kautamaan
Istri (1910) di berbagai tempat di Bandung juga luar Bandung. Cut Nyak Dien (1848-1908) hingga akhir hayatnya tetap
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Tengku Fakinah,
selain ikut berperang, ia juga adalah seorang ulama-wanita. Begitu pun dengan Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah
yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.
Lalu, atas dasar pemikiran seperti apa hingga sosok Kartini yang dijadikan
sebagai pejuang emansipasi wanita Indonesia? Padahal begitu banyak sosok
pejuang wanita yang kontribusinya tertorehkan lebih hebat.
Back to Kartini. Seorang penulis sejarah Fandy Hutari juga
memaparkan 4 kontroversi terhadap Kartini yang ia peroleh dari berbagai
informasi. Pertama, adanya dugaan rekasa pada surat-surat Kartini oleh J.H
Abendanon sebelum diterbitkan. Ini disebabkan karena sampai sekarang tak
se-orang pun yang tahu keberadaan surat-surat Kartini tersebut. Kita, hanya
disuguhkan naskah surat dalam bentuk buku. Bahkan diduga bahwa J.H Abendanon
memanfaatkan surat-surat Kartini untuk kepentingan polotik Etis yang saat itu
sedang gencar dikampanyekan. Kedua, ketidak teguh pendirian Kartini terhadap
kritikan dan gugatannya mengenai poligami dan pingit yang merupakan tradisi
jawa. Ia, menerima dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang yang notabene-nya
sudah mimiliki 3 orang istri. Perubahan sikap Kartini itu menyebabkan ia
terlihat “lemah” dalam ber-prinsip. Ketiga, tidak adanya bukti sejarah yang
memperlihatkan perjuangan Kartini dalam melawan penjajahan Belanda. Kartini
malah lebih memilih untuk toleransi kepada Belanda. Nah, sikap demikian sangat
jauh bahkan ber-kontradiksi dengan sosok se-orang pejuang kemerdekaan
Indonesia. Keempat, Kartini dalam pemikirannya hanya ber-bicara mengenai
permasalahan adat Jawa bukan permasalahan bangsa Indonesia pada umumnya yang
terdiri dari berbagai suku.
Nah, berdasarkan kontroversi di atas, maka sangat wajar jika
kita mempertanyakan mengapa tanggal lahir Kartini harus dijadikan sebagai hari
besar Nasional bangsa kita? Atau, mengapa tiap tanggal 21 April hanya nama
Kartini saja yang disebut dan dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita
Indonesia? Mengapa hanya jasa Kartini yang dikenang? Mengapa jasa pejuang
wanita lainnya tidak diikutsertakan?
Hal-hal seperti inilah yang perlu dipelajari oleh masyarakat
Indonesia. Kita semua perlu mengetahui bahwa sangat banyak distorsi sejarah
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada perjuangan bangsa Indonesia. Jika
kita tidak paham mengenai sejarah, maka bagaimana mungkin kita bisa menatap dan
menata masa depan? Mengutip sebuah nasehat indah dari pejuag Indonesia bapak
Ir. Soekarno, ia mengatakan bahwa “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Sejarah sangatlah penting untuk menentukan langkah kita ke depan. Bahkan
Al-Qur’an yang kita jadikan sebagai pedoman hidup juga banyak bercerita tentang
sejarah.
Selain itu, berbicara mengenai emansipasi wanita, saya kembali
mengutip satu kalimat bijak dari Rohana Kudus, “Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan
dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani,
berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Modern tidak berarti wanita harus
setara atau bisa sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Laki-laki
tetaplah laki-laki dengan segala hak dan kewajibannya. Juga Wanita, tetaplah
wanita dengan segala hak dan kewajibannya pula. Wanita ber-hak untuk
mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya dan melakukan segala ingin serta
cita yang diharapkannya tanpa menyalahi kodrat ia dari Tuhan sebagai se-orang
wanita ^^
*Referensi bacaan dari berbagai artikel
Nb : Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik pun
menggugat pribadi Kartini, bahkan mengurangi rasa hormat dan apresiasi kami
(ter-khusus saya pribadi) terhadap perjuangan beliau untuk emansipasi wanita.
Kami tetap wajib ber-terima kasih dan meng-hargai beliau sebagai salah satu
pejuang kaum perempuan yang telah mengisi sejarah Indonesia J ^_^
Kendari, 21 April 2016
Qamra ‘Awanta ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar